SAAT SEMUA HARUS KEMBALI
SAAT
SEMUA HARUS KEMBALI
Putri
Bungsu
Malam semakin sunyi. Hujan yang baru saja reda
masih menyisakan tetesnya di pucuk daun. Udara benar-benar dingin. Suhu menunjukkan 18
derajad Celcius. Jarum
jam menunjuk angka 11.00 WIB. Rumah
sakit sudah benar-benar sepi. Tak
henti-hentinya kupandangi wajah Afifa, istriku, tampak begitu tenang dan
damai. Obat
yang diinjeksikan sangat efektif. Setidaknya
aku cukup lega menyaksikan istriku
tidak kesakitan lagi.
Afifa berjuang melawan
kanker payudaranya dalam keadaan hamil. Calon anak pertama kami
yang sangat dinanti semua keluarga. Sejak awal kehamilan Afifa tampak
bersemangat seakan tak mengidap penyakit apapun. Juga saat awal kehamilan, Afifa tak mengalami
"ngidam" seperti yang dialami wanita hamil pada umumnya. Makan biasa-biasa saja, rasa mual hampir tak
dirasakan. Pada
wanita kebanyakan, kata teman-teman, sanggup membuat suami kelabakan dan harus
berjuang keras untuk mewujudkan keinginan bumil itu bahkan ada yang
keinginannya di luar nalar.
Memasuki bulan kedelapan
memang Afifa baru tampak ada perubahan. Dia tampak mudah lelah, selera makannya juga
menurun drastis. Sampai
pagi itu Afifa merasakan perutnya sakit luar biasa dan mulai muncul bercak-
bercak darah seperti tanda awal mau melahirkan dan aku membawanya ke Rumah
Sakit Permata Bunda ini.
"Mas,aduh...!"
Aku terkejut mendengar Afifa
terbangun.
"Kenapa
sayang, sakit
lagi?"
Afifa
mengangguk menahan sakit. Aku
cukup panik dan kupanggil perawat jaga. Serta merta Afifa
diperiksa. Dokter
jaga pun tampak serius memeriksa Afifa. Dokter Nita mengajakku
keluar kamar menuju ruangannya.
"Satu-
satunya jalan untuk menyelamatkan bayi Anda dan ibunya adalah dengan jalan
operasi caesar. Apakah
Bapak setuju?"
"Lakukan
yang terbaik untuk istri dan anak saya, Dok!" pintaku
memelas.
"Kami
pasti berusaha yang terbaik, Pak.Tolong
Bapak tanda tangani
surat- suratnya!"
Tanpa berlama- lama aku
tanda tangani surat- surat itu.
Bagiku menyelamatkan mereka di atas segalanya. Begitu Afifa dibawa ke
ruang operasi, aku
menunggu di luar ruangan
operasi berdoa dengan khusuk. Baru
kali ini debar jantungku begitu kencang.
"
Ya,Tuhan,selamatkan anak dan istriku!"
Rasanya sangat lama aku
menanti. Entahlah
sudah berapa ratus kali kulafazkan asma Allah dan shalawat.
Ruang operasi dibuka. Seorang perawat keluar
sambil memanggil.namaku.
"Bapak
Faiz, selamat
ya, putri
cantik Bapak telah lahir."
"Alhamdulillah, Ya Allah."
"Silakan
masuk, Pak!"
Aku mengikuti suster
masuk dalam ruangan. Kupandangi
bidadari kecilku. Matanya
masih tertutup rapat.Dalam hati kecilku bertanya-tanya mengapa dia tidak
menangis. Namun
aku berpikir pisitif. Mungkin
karena lahir prematur maka seperti ini. Kukumandangkan adzan di
telinganya. Biarlah
suara pertamanya ini yang akan menuntunnya menjadi putri shalihah. Setelah putriku kutaruh
di box bayi, kudekati
Afifa. Kucium
keningnya dengan lembut.
"Nadira, putri kita lahir
sempurna, sayang!"
Afifa mengangguk. Sesungging senyum
manisnya hadir menghibur.
"Beratnya
1650 gram sayang, di
inkubator dulu" kataku lagi.
"Iya,Mas.Alhamdulillah."
"Terima
kasih, sayang. Lengkap sudah keluarga
kita."
Afifa hanya mengangguk. Wajahnya tampak sangat
pucat.
Rasa yang susah
dilukiskan dengan kata-kata. Pada
hari ketiga, Nadira, belum juga terdengar
tangisnya. Bidadari
mungilku tergolek diam di dalam inkubator. Bayi yang masih merah itu
belum merasakan ASI ibunya. Bagaimana
mungkin Afifa bisa menyusui dalam kondisi seperti ini? Kanker yang menggerogoti
payudaranya sudah masuk stadium empat. Kami harus merelakan kepergian Nadira
menghadap-Nya.
"Bidadariku, kubasuh wajahmu dengan
embun-Mu. Segala
rasa tertuang dalam cawan duka. Firman-Mu
penerang gulita. Damailah di surga. Kelak Ayah Bundamu
menyusul "bisikku
mengantar jasad Nadira yang belum sempat terdengar tangisnya.
Aku sendiri yang membawa
Nadira ke peristirahatan terakhirnya. Aku tahu semua orang, sanak saudara semuanya
berduka. Duka
yang dalam. Putri
yang sangat kami harapkan harus kami ikhlaskan. Nadira lahir sebagai cucu
pertama dalam keluarga kami. Memang
sejatinya kita tak punya apa-apa. Pada
gundukan tanah merah bertabur bunga itu terpasang sebilah papan bertuliskan
"Nadira binti Faiz
Abdullah" Lahir 12-10-2022,
Meninggal 14-10-2022.
Kutinggalkan makam dengan
tertunduk pilu. Kepergian
Nadira sungguh menyisakan kesedihan mendalam. Kebersamaan yang hanya
sesaat telah mengoyak-oyak segenap rasa. Namun, kepastian Tuhan yang
bernama "maut" memang sungguh perkara ghaib, tak ada yang dapat
mengetahui selain Dia. Dialah
yang berkehendak, tak
satupun dapat menolak.
Aku kembali ke rumah
sakit. Aku
tak tega melihat wajah istriku yang makin kuyu. Afifa benar-benar
terpukul atas kepergian Nadira. Hari-hari
selanjutnya terasa begitu hampa. Afifa
harus terus berjuang melawan kankernya.
Kepergian Nadira bisa
diibaratkan membawa separuh nyawa kami. Aku sangat syok melebihi
Afifa rasanya. Namun, sebagai lelaki aku harus
kelihatan tegar, lebih-
lebih di hadapan Afifa.
Angin malam makin kencang
bertiup. Cuaca
menjadi sangat dingin. Aku
memandang jauh keluar jendela. Bilik-bilik
waktu harus dilalui. Bingkai-
bingkai peristiwa menanti secara perlahan namun pasti akan terisi. Entah kapan, dimana, mengapa. Detak jarum jam berlomba
dengan denyut nadi. Kutoleh
Afifa yang baru saja lelap. Sambil
agak bersandar Afifa bisa tidur. Kepala
posisinya harus lebih tinggi. Sering
sekali Afifa kesakitan dan susah bernapas. Kanker itu sudah menyebar
hingga paru- parunya.
"Ya,Tuhan. Kuatkanah istriku"
Dialah satu-satunya milikku yang paling
berharga setelah kepergian Nadira.
Belum sempat aku duduk di
sofa sebelah bed
Afifa, dia
terbangun. Napasnya
kembali tersengal, dadanya
sesak seakan ada batu besar menindih dadanya.
"Sayang, terasa sakit lagi?"
sambil kuelus pundaknya.
"Sakit
sekali, Mas. Rasanya aku tak kuat lagi
mas."
"
Stt..jangan begitu sayang. Kamu
kuat. Kamu
pasti mampu melawannya."
"Tidak, mas. Kita tahu apa arti
stadium 4 ini mas. Aku
tak kan bisa bertahan lebih lama lagi."
"Afifa, tenanglah sayang. Jangan banyak bicara
dulu. Ayo, berusahalah tidur lagi. Aku menjagamu."
Afifa mengangguk. Setelah minum sedikit air
putih hangat, dia
tampak memejamkan matanya.
Pikiranku menerawang
jauh. Afifa
benar. Kanker
payudara stadium 4 merupakan fase kritis. Sangat jarang
penderitanya bisa bertahan lama. Ibaratnya
hanya menunggu waktu. Menurut
ilmu kedokteran pasien bisa bertahan maksimal 5 tahun pada stadium ini. Tak jarang hanya mampu
bertahan setahun. Tergantung
kondisinya. Kemoterapi
sebatas membunuh sel kanker dari penyebarannya.
Afifa hanya sebentar saja
tenang. Tak
lama kemudian matanya terbuka lagi.
"Aku
panggilkan dokter sayang."
"Tidak
usah mas. Percuma. Waktuku tak lama lagi. Aku ingin bersama mas
berdua saja."
Kuelus rambut Afifa
dengan lembut. Kucoba
menenangkan Afifa meski pikiranku sendiri tak karuan. Aku harus tegar di
hadapan Afifa.
"Mas,..."
"Ya,sayang."
"Ikhlaskan
aku ya, mas. Aku akan menemani anak
kita. Jaga
diri mas baik- baik. Suatu
saat nanti kita bersama lagi." Suara Afifa lirih terbata- bata. Aku tak bisa berkata-
kata. Mulutku
terasa terkunci rapat. Air
mataku tak dapat kutahan lagi. Afifa
berpulang dalam pelukanku.
Dinding rumah sakit
menjadi saksi bisu kepergian Afifa menghadap-Nya. Dokter memeriksa Afifa.
"Istri
Bapak telah pergi."
Belum layu bunga di atas
makam Nadira. Kini Afifa
menyusul di sebelahnya. Dua
bidadariku telah pergi meninggalkanku. Rasanya baru kemarin kami bersama dan
bahagia. Hadir
buah hati kami, Nadira. Namun secepat itu Tuhan
mengambilnya.
Kenangan demi kenangan
berseliweran di depan mata. Seperti
baru melihat film layar lebar. Aku
tenggelam dalam lamunan panjang. Tiba-
tiba terdengar suara klakson mobil di jalan raya sebelah makam. Aku tersadar dan bangkit. Tuhan telah
mengingatkanku dengan ujian ini. Di
tempat ini kelak aku akan kembali. Terbaring dalam tanah berukuran dua kali
satu meter. Tanpa
kawan kecuali cahaya amal yang dulu diperbuatnya.
Bumi Intanpari, Oktober 2022
BIONARASI :
Putri Bungsu, lahir di Kulon Progo tanggal 26 September. Wanita berzodiak Libra ini gemar membaca, menulis, dan avontur. Pegiat di komunitas Sastra Kidung Semilir sejak 2017. Bergabung dengan beberapa komunitas sastra dan telah menerbitkan 4 buku puisi tunggal dan seratus lima puluhan buku antologi bersama.
0 Response to "SAAT SEMUA HARUS KEMBALI"
Posting Komentar