MAJALAH ONLINE


            Rasa yang tak pernah benar benar pergi  

Namaku Amira, tapi orang-orang biasa memanggilku Mira. Entah kenapa, nama panggilan itu terasa lebih hangat, lebih akrab di telinga. Tapi yang lebih lucu lagi, aku sudah lama mengagumi seseorang bernama Arka.

Aku mengenalnya sejak SD.

Dulu kami cukup dekat — mungkin bisa dibilang bersahabat. Arka bukan tipe anak laki-laki yang ramai atau sok keren. Ia sederhana, tapi punya sesuatu yang berbeda. Ia baik, jujur, dan meski kadang tengil, justru di situlah daya tariknya. Selalu saja ada cara dia membuat orang lain tertawa, termasuk aku.

Suatu sore, kami duduk di halaman sekolah, menunggu dijemput. Matahari mulai turun, warnanya keemasan, membuat bayangan kami memanjang di tanah.

“Mir,” katanya tiba-tiba, suaranya pelan.

​“Hm?”

“Nanti kalau kita udah gede, kamu masih bakal nyapa aku nggak?”

Aku menatapnya, sedikit bingung. “Ya nyapa lah. Emang kenapa?”

Arka menghela napas, menatap langit. “Entah, aku cuma takut aja... takut kalau nanti kita jadi orang asing.”

Aku diam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau kamu nggak lupa duluan, aku juga nggak bakal lupa.”

Ia menoleh padaku, matanya berbinar. “Janji?

Aku mengangkat kelingkingku. “Janji.”

Ia ikut mengaitkannya sambil tersenyum. “Kalau gitu, kita nggak akan jadi asing.”

Dan di momen itu, aku percaya padanya

Waktu itu, setiap kali dia tersenyum, rasanya dunia jadi lebih ringan.

Tapi masa SD cepat berlalu. Kami berpisah tanpa janji lagi, tanpa tahu kalau perpisahan itu benar-benar akan membuat kami jadi asing. Saat SMP, kami seperti dua orang tak saling kenal — hanya tahu nama, tapi tak lagi menyapa.

Aku masih sering melihatnya — dari kejauhan. Kadang di koridor sekolah, kadang di lapangan. Dan setiap kali begitu, hatiku seperti berhenti berdetak sebentar. Tapi Arka tampak sibuk dengan teman-temannya, tertawa bersama orang lain yang kini mengisi harinya.

Dan di sanalah aku sadar… dia bukan milikku lag

Waktu terus berjalan. Aku juga mencoba membuka hati untuk orang lain. Tapi entah kenapa, tak pernah benar-benar bisa. Karena setiap kali aku mulai menyukai seseorang, bayangan Arka selalu datang — dengan senyumnya, suaranya, dan caranya memanggil namaku dulu.

Hingga suatu hari, aku mendengar sesuatu yang membuat dadaku nyeri.

“Arka suka sama temen sekelasnya,” kata salah satu temanku sambil tertawa kecil.

Aku hanya tersenyum, berusaha terlihat tenang.

“Oh ya? Bagus, semoga mereka cocok.”

Padahal di dalam hati, rasanya seperti diremas. 

Rasanya sakit… tapi aku bisa apa? Dia berhak bahagia, meski bukan denganku.

Dan anehnya, di tengah semua itu, rasa ini tak juga hilang.

Mungkin karena aku tidak hanya menyukai Arka yang sekarang, tapi juga Arka yang dulu — anak laki-laki yang membuat masa kecilku penuh tawa. Rasa itu seperti benih yang tidak pernah mati, hanya tertidur lama, menunggu untuk tumbuh kembali.

Kadang aku menatap langit sore dan bertanya pelan dalam hati,

“Arka, apa kamu masih ingat aku?”

Pertanyaan yang mungkin tak akan pernah mendapat jawaban.

Tapi aku tidak menyesal pernah menyukainya. Karena dari semua rasa yang datang dan pergi, hanya rasa untuknya yang paling jujur.

Mungkin cinta tidak selalu harus dimiliki. Kadang, cukup disimpan rapi — menjadi cerita kecil yang manis, yang hanya aku dan waktu yang tahu.

Dan aku tahu satu hal yang pasti...

Rasa yang tulus tak pernah benar-benar pergi.

Ia hanya berubah bentuk — dari ingin memiliki, menjadi cukup dengan mengenang.

 

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MAJALAH ONLINE"

Posting Komentar